Friday, December 22, 2023

REVITALISASI PERTANIAN: Inovasi Nano Biopestisida dari Serai Wangi (Cymbopogon nardus L.) dan Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Pertanian

nbjhu
Sumber: https://www.greeners.co/ide-inovasi/biopestisida-dari-kulit-durian/

 Biopestisida?

Biopestisida adalah pestisida yang berasal dari bahan-bahan alami atau mikroorganisme yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama tanaman atau organisme pengganggu lainnya. Berbeda dengan pestisida kimia yang umumnya bersifat sintetis dan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, biopestisida cenderung lebih ramah lingkungan. Biopestisida memiliki beberapa keunggulan, seperti kemampuan untuk mengendalikan hama secara spesifik tanpa merusak organisme non-target, degradabilitas yang lebih baik di lingkungan, dan potensi risiko kesehatan manusia yang lebih rendah. Namun, efektivitasnya dapat bervariasi tergantung pada kondisi lingkungan dan praktik penggunaannya. Beberapa penelitian telah merancang pestisida dalam ukuran yang lebih kecil atau seperti partikel, yang biasa disebut nano pestisida.

Apa itu nano pestisida?

Sumber: https://ftmm.unair.ac.id/potensi-atasi-zero-hunger-ini-cara-ampuh-mengobati-penyakit-tanaman-pertanian-dengan-teknologi-nano/

Nano pestisida adalah formulasi pestisida yang menggunakan teknologi nanopartikel untuk mengirimkan bahan aktif ke dalam tanaman atau organisme target. Nano pestisida dirancang untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan pestisida dengan memanfaatkan sifat-sifat unik nanopartikel. Teknologi nanopartikel melibatkan partikel yang berukuran sangat kecil, seringkali dalam skala nanometer (1 nanometer = 1 miliar bagian dari satu meter).

Saat ini telah dikembangkan banyak sekali jenis nano pestisida. Namun terdapat beberapa potensi dari nano pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan manusia akibat dari ukurannya yang kecil dan masuk ke jaringan tanaman. Sehingga berpengaruh terhadap kandungan dalam tanaman terutama apabila mengandung senyawa kimia. Oleh karena itu dikembangkan kembali nano pestisida tersebut yang berbahan dasar dari bahan-bahan alami atau biasa disebut nano biopestisida. Salah satu bahan yang telah diteliti dan dikembangkan adalah nano biopestisida dari serai wangi.

Mengutip dari salah satu jurnal oleh Nefri et al., 2018, bahwa formula nano biopestisida seraiwangi disusun oleh campuran minyak serai wangi, surfaktan dan ko-surfaktan serta didominasi oleh air sehingga formula ini aman buat lingkungan. Selain itu, pada jurnal yang dikutip oleh Septariani et al., 2020 aplikasi nano biopestisida dari minyak serai wangi di lahan cabai lokasi mitra terbukti efektif menurunkan intensitas penyakit kuning lebih dari 50% dibandingkan tanpa pengendalian. Nanopestisida alami ini aman terhadap lingkungan, mudah diolah dan diaplikasikan sesuai dengan prinsip sistem pertanian berkelanjutan, serta efektif dan efisien dalam penggunaan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani mitra.

Peran Nano Biopestisida terhadap Sistem Pertanian Berkelanjutan?

Nano biopestisida dapat memainkan peran penting dalam mendukung sistem pertanian berkelanjutan dengan menggabungkan keunggulan teknologi nanopartikel dan bahan aktif dari sumber alami atau mikroorganisme. Berikut adalah beberapa peran kunci nano biopestisida dalam konteks pertanian berkelanjutan:

  • 1.   Efisiensi Penggunaan Bahan Aktif

Nano biopestisida dapat meningkatkan efisiensi penggunaan bahan aktif dari biopestisida, memungkinkan penggunaan dosis yang lebih rendah untuk mencapai efek yang sama atau bahkan lebih baik. Hal ini dapat mengurangi jumlah bahan aktif yang dibutuhkan dan, oleh karena itu, meningkatkan keberlanjutan penggunaannya.

  • 2.    Peningkatan Penetrasi dan Bioavailabilitas

Dengan ukuran partikel yang sangat kecil, nano biopestisida dapat lebih mudah menembus sel-sel tanaman atau organisme target, meningkatkan penyerapan bahan aktif dan bioavailabilitasnya. Ini mendukung efektivitas pengendalian hama dan penyakit.

  • 3.  Pengendalian Target yang Lebih Spesifik

Nano biopestisida dapat diarahkan secara lebih spesifik ke organisme target, mengurangi dampak pada organisme non-target. Ini mendukung prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan dengan menjaga keseimbangan ekosistem.

  •      4.  Pengurangan Dampak Lingkungan

Dengan mengurangi dosis dan meningkatkan targetting, nano biopestisida dapat membantu mengurangi residu pestisida pada hasil pertanian dan mengurangi potensi pencemaran lingkungan. Ini konsisten dengan tujuan pertanian berkelanjutan untuk melestarikan dan melindungi lingkungan.

  •      5.  Mengurangi Risiko Resistensi Hama

Efisiensi penggunaan dan penargetan yang lebih spesifik dapat membantu mengurangi risiko perkembangan resistensi hama terhadap biopestisida. Hal ini mendukung manajemen hama yang berkelanjutan.

  •      6.  Pengurangan Beban Kerja dan Biaya Produksi

Nano biopestisida dapat mengurangi beban kerja petani dan biaya produksi karena dosis yang lebih rendah dan efektivitas yang tinggi. Ini dapat meningkatkan efisiensi produksi pertanian secara keseluruhan.

  •      7.  Peningkatan Produktivitas Tanaman

Dengan memberikan perlindungan yang lebih efektif terhadap hama dan penyakit, nano biopestisida dapat mendukung peningkatan produktivitas tanaman. Hal ini penting untuk mencapai tujuan pertanian berkelanjutan yang mengutamakan produksi yang berkelanjutan dan aman.

  •      8.  Inovasi dalam Pengembangan Produk Pertanian

Penggunaan nano teknologi dalam biopestisida juga membuka peluang untuk inovasi dalam pengembangan produk pertanian. Ini mencakup formulasi yang lebih canggih dan peningkatan kualitas produk.

Nano biopestisida menawarkan potensi keunggulan dalam berbagai aspek, aspek-aspek seperti keamanan lingkungan dan kesehatan manusia yang harus tetap diperhatikan dan diinvestigasi secara mendalam. Pengembangan dan penerapan nano biopestisida harus dilakukan dengan memperhatikan dampaknya secara menyeluruh dan dengan mematuhi regulasi yang berlaku.

 

REFERENSI

Ariningsih, E. (2016). Prospek Penerapan Teknologi Nano dalam Pertanian dan Pengolahan Pangan di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 34(1), 1.

Nefri, J., Noveriza, R., Suheryadi, D., & Ukrita, I. (2018). Kajian Teknoekonomi Aplikasi Nano Seraiwangi Terhadap Penyakit Mosaik dan Potensi Meningkatkan Pendapatan Petani Nilam. Indonesian Journal of Essential Oil, 3(2), 89–97.

Septariani, D. N., Hadiwiyono, H., Harsono, P., & Mawar, M. (2020). Pemanfaatan Minyak Serai Sebagai Bahan Aktif Nanovirusida untuk Pengendalian Penyakit Kuning pada Cabai. PRIMA: Journal of Community Empowering and Services, 4(2), 51. 


Nama    : Isnaini Ainun Habibah

NPM    : 21025010158

Kelas    : C025

 

 

 


Saturday, March 18, 2023

Pengelolaan Kesehatan Tanaman pada Budidaya Jagung (Zea mays)

Saat ini jagung menjadi salah satu komoditas tanaman pangan yang mulai ditingkatkan nilai tambahnya melalui adanya pengembangan agroindustri pedesaan. Hal ini disebabkan karena jagung merupakan bahan pangan sumber karbohidrat kedua setelah beras. Dewasa ini, disamping itu jagung juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri makanan dan pakan ternak. Peningkatan kebutuhan jagung ini berkaitan dengan meningkatnya usaha peternakan terutama unggas yang memerlukan jagung sebagai pakan ternaknya. Selain itu, jagung juga dimanfaatkan sebagai industri makanan, minuman, kimia, hingga farmasi. Pemanfaatannya sebagai bahan baku industri, tentu memberikan nilai tambah bagi usaha tani komoditas jagung. Sehingga salah satu upaya yang dilakukan oleh Departemen Pertanian untuk meningkatkan produktifitas jagung ialah melalui Pendekatan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu), yang dimana pengelolaan tersebut berdampak langsung terhadap pengelolaan kesehatan tanaman.

Apa itu PTT?

PTT atau Pengelolaan Tanaman Terpadu merupakan suatu pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatis bersama petani. PTT menjadi sebuah pengembangan dari konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang sebelumnya lebih dulu dikembangkan. Pada PTT ini memfokuskan mengenai tanaman dan cara pengelolaan kesehatan tanaman.

Pengelolaan kesehatan tanaman sendiri merupakan suatu sistem budidaya tanaman dan pengendalian hama penyakit yang terintegrasi untuk mencapai hasil dan mutu panen yang optimal dengan keuntungan yang maksimal serta terjaminnya keseimbangan agroekosistem yang berkelanjutan (Portal Resmi Kabupaten Bogor, 2019).

PTT jagung bertujuan untuk meningkatkan produktivitas secara berkelanjutan dan meningkatkan efisiensi produksi (Haryati & Karsidi, 2015). Pengembangan PTT jagung di suatu lokasi harus memperhatikan kondisi sumber daya setempat. Sehingga kita perlu mengetahui syarat tumbuh tanaman jagung yang tepat.

-          Iklim

1.     Memiliki iklim subtropis atau tropis yang terletak antara 0-500 LU hingga 0-400 LS

2.     Curah hujan ideal yakni 85-200 mm/bulan

3.     Suhu optimum 21-34ͦC

4.     Intensitas cahaya matahari secara langsung minimal 8 jam per hari

5.  Tidak memerlukan naungan karena dapat mengahambat atau merusak biji sehingga tidak membentuk buah

-          Media tanah

1.     Memiliki tekstur tanah yang gembur

2.     Kandungan unsur hara tercukupi

3.     pH tanahnya yakni 5,5-7,5

4.     Ketersediaan air cukup

5.     Memiliki kemiringan tanah >8%

-          Ketinggian

1.     Berada pada ketinggian antara 1000-1800 m dpl dengan ketinggian optimum antara 50-600 m dpl di atas permukaan laut.

Pengelolaan kesehatan tanaman jagung harus memperhatikan komponen-komponen dasar demi menunjang keberlangsungan budidaya tanaman jagung. Komponen dasar tersebut diantaranya:

1.     Varietas unggul

Komponen yang pertama yakni varietas unggul. Varietas Unggul Baru (VUB) adalah yang berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap hama penyakit. Pengguanaan varietas unggul tersebut berpengaruh terhadap pendapatan yang lebih tinggi. Selain itu, pemilihan varietas juga harus disesuaikan dengan kondisi lahan, keinginan petani, dan permintaan pasar yang ada.

2.     Benih bermutu

Benih bermutu adalah benih dengan tingkat kemurnian dan daya tumbuh yang tinggi (>95%) yang umumnya ditemukan pada benih yang berlabel. Penggunaan benih bersertifikat dengan vigor tinggi sangat dianjurkan. Biasanya sebelum tanam, benih jagung perlu adanya pengujian daya tumbuh benih. Benih bermutu apabila ditanam, maka akan tumbuh pada 4 hari setelah tanam.

3.     Populasi tanaman

Komponen ini ditentukan oleh jarak tanam dan mutu benih yang digunakan. Jarak tanam yang dianjurkan adalah 70-75 cm x 20 cm (1 biji per lubang), 70-75 cm x 40 cm (2 biji per lubang), apabila secara jajar legowo maka 80-100 cm x 40 cm x 20 cm (1 biji per lubang), 80-100 cm x 40 cm x 40 cm (2 biji per lubang). Pada budidaya jagung tidak dianjurkan penyulaman, karena pengisian biji dari tanah sulaman tidak optimal.

4.     Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara

Pemberian pupuk harus diberikan secara berimbang berdasarkan keseimbangan antara hara yang dibutuhkan oleh tanaman sesuai dengan sasaran tingkat hasil yang ingin dicapai dengan ketersediaan hara dalam tanah. Kebutuhan hara N dapat dilihat dari kondisi warna daun melalui tingkat kehijauannya dengan menggunakan Bagan Warna Daun (BWD), sedangkan untuk hara P dan K dapat dilihat melalui Perangkat Uji Tanah Kering (PUTK) dan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Pemberian pupuk yang dianjurkan yakni Phonska 250-300 kg/ha dan Urea 300-450 kg/ha.

Selain komponen dasar, juga terdapat komponen pilihan yang nantinya disesuaikan dengan kondisi, kemauan, dan kemampuan petani. Komponen dasar tersebut diantaranya:

1.     Penyiapan lahan

Penyiapan lahan dilakukan dengan memperhatikan kondisi lahan. Pada lahan sawah pada musim kemarau yang perlu dilakukan cukup dengan Tanpa Olah Tanah (TOT), yakni dengan membersihkan rumput-rumputatau tunggal jerami padi sisa panen kemudian membuat parit sebagai pengairan dan pembuangan apabila kelebihan air akbiat hujan lebat. Sehingga tiap 4-5 barisan perlu dibuatkan parit dengan kedalaman 20 cm dan lebar 30 cm. Untuk panjang parit disesuaikan dengan panjang petakan. Untuk jerami padi sisa panen biasanya dihamparkan diatas tanah guna menjaga kelembaban tanah dan juga mencegah pertumbuhan gulma (Suheri et al., 2021).

2.     Pembuatan saluran drainase di lahan kering pada musim hujan atau saluran irigasi di lahan sawah pada musim kemarau

Saluran drainase diperlukan untuk pengairan air dari areal pertanaman terutama pada musim hujan. Saluran drainase dibuat saat penyiangan pertama dengan menggunakan cangkul. Alternatif pemberian air yang bisa dilakukan pada musim hujan adalah dengan sistem kocor yang bersamaan dengan pemupukan khususnya pada tanah yang berliat. Sedangkan pada lahan sawah pengairan yang dibutuhkan adalah melalui saluran irigasi agar dapat mempermudah pengaturan pengairan tanaman yang dibuat saat penyiangan pertama. Saluran irigasi dibuat setiap 2 baris tanaman karena lebih efisien dibandingkan dibuat pada setiap 1 baris tanaman saja (Margaretha & Syuryawati, 2017).

3.     Pemberian pupuk organik

Menanam jagung di lahan sawah saat musim kemarau juga perlu adanya pemberian pupuk organik yang digunakan sebagai penutup lubang tanam. Sisa jerami padi yang dihamparkan di atas tanah diaplikasikan setelah tanam juga berfungsi sebagai pupuk organik yang dapat memperbaiki kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah.

4.     Pembubuhan

Pembubuhan yakni mencangkul sedikit tanah yang berada di sela jarak tanam yang kemudian digundukkan dipangkal batang tanam agar lingkungan akar baik dan tanaman dapat tumbuh kokoh sehingga tidak mudah rebah. Pembubuhan dilakukan bersamaan dengan penyiangan pertama dan pembuatan saluran, atau setelah pemupukan kedua yakni 35 HST bersamaan dengan penyiangan kedua secara mekanis.

5.     Pengendalian gulma secara mekanis atau dengan herbisida kontak

Untuk mengendalikan gulma dapat dilakukan penyiangan yakni mencabut gulma yang berada diantara sela-sela tanaman. Penyiangan di lahan sawah pada musim kemarau dilakukan pada umur 15 HST.

6.     Pengendalian hama dan penyakit

Pengendalian hama dan penyakit tanaman jagung dapat dilakukan dengan pendekatan secara terpadu, yakni:

a.     Identifikasi jenis dan populasi hama oleh petani dan pengamat OPT di lapangan.

b.     Penetuan tingkat kerusakan tanaman menurut kerugian ekonomi atau ambang tindakan

c.     Menggunakan taknik dan teknik pengendalian:

o   Tanaman diusahakan untuk selalu sehat

o   Apabila terserang hama dan penyakit maka dapat dilakukan pengendalian secara hayati, fisik ataupun mekanis.

o   Menggunakan varietas tahan

o   Menggunakan senyawa hormon

o Apabila serangan sudah cukup parah, maka baru dapat dilakukan pengendalian menggunakan pestisida

7.     Panen tepat waktu dan pengeringan segera

Panen jagung harus dilakukan tepat waktu karena dapat mempengaruhi kualitas biji jagung. Tindakan yang dilakukan sebelum pemanenan adalah pemangkasan bagian tanaman yang berada diatas tongkol pada saat biji sudah mencapai masak fisiologis atau kelobot jagung sudah mengering yakni berwarna coklat muda. Apabila biji sudah mengkilap dan saat ditekan dengan kuku tidak membekas atau biji telah mengeras, maka jagung siap untuk dipanen. Panen dilakukan saat cuaca cerah dengan kadar air biji ±30%. Namun apabila kadar air biji telah mencapai ±20% maka tongkol jagung dapat dipipil dan dijemur hingga kadar air mendekati ±14%.

Tidak dapat dipungkiri bahwasannya permintaan pasar akan jagung sangat meningkat. Sehingga banyak sebagian orang yang ingin untuk memiliki budidaya tanaman jagung. Lalu apa saja yang perlu dipersiapkan untuk memulai budidaya jagung? Dan bagaimana agar dapat meningkatkan pendapatan serta keuntungan secara maksimal?

Berikut merupakan analisa keuangan atau Cash Flow pada budidaya jagung (Wibishanna & Mustadjab, 2016).

Pendapatan usahatani budidaya tanaman jagung diatas dibedakan menjadi dua kelompok yakni apabila menggunakan GDM dan tidak menggunakan GDM. GDM adalah pupuk dan suplemen organik cair yang di hasilkan dari bahan-bahan murni 100% organik. Dapat terlihat jelas bahwasannya keuntungan yang didapat saat menggunakan pupuk GDM memiliki nilai yang cukup tinggi dibandingkan tanpa menggunakan pupuk GDM. Dari harga jual Rp 3.500/kg, petani dapat menghasilkan keuntungan hingga Rp 32 juta dari input yang ia keluarkan sebanyak Rp 12 juta. Perbandingan antara penerimaan dengan biaya usaha didaptkan R/C ratio yakni 2.61 untuk budidaya menggunakan pupuk GDM dan R/C ratio yakni 2.37 untuk budidaya tanpa pupuk GDM. Artinya pada budidaya menggukan pupuk GDM setiap pengeluaran Rp 1.000 maka petani mendapatkan Rp 2.610 per hektar, sedangkan untuk budidaya tanpa pupuk GDM setiap pengeluaran Rp 1.000 maka petani mendapatkan Rp 2.370 per hektar. Maka dari R/C rasio nilainya lebih dari 1, otomatis petani mendaptakan keuntungan.

 


DAFTAR PUSTAKA

Haryati, Y., & Karsidi, P. (2015). Implementasi Pengelolaan Tanaman Terpadu pada Jagung Hibrida (Zea mays L.). Jurnal Agrotrop, 5(1), 101–109.

Margaretha, M., & Syuryawati, S. (2017). Penerapan Teknologi Produksi Jagung Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu Pada Lahan Sawah Tadah Hujan. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, 1(1), 53. 

Suheri, H., Jaya, K. D., & Kusumo, B. H. (2021). Pengelolaan Tanaman Penutup Tanah untuk Meningkatkan Produksi Jagung Manis Di Lahan Kering Vertisol Lombok. Jurnal Sains Teknologi & Lingkungan, 117–125.

Wibishanna, A., & Mustadjab, M. M. (2016). Analisis Efisiensi Alokatif Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Pada Usahatani Jagung ( Zea Mays L .). Jurnal Habitat, 26(2), 136–143.



Nama                           : Isnaini Ainun Habibah

NPM                           : 21025010158

Kelas                          : C025

Mata Kuliah                : MOPTT

Dosen Pengampu        : Dr. Ir. Sri Wiyatiningsih, MP.

Sunday, February 12, 2023

WAJIB TAU! Manajemen Organisme Pengganggu Tanaman Terpadu Pada Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Menggunakan Dasar Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang Baik dan Benar


Sumber: Kumparan.com

Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman dengan komoditas strategis yang menjadi bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk di Indonesia. Dalam pengelolaan tanaman secara terpadu (PTT) padi sawah, terdapat komponen dasar pengendalian organisme penggangu tanaman berdasarkan pendekatan pengendalian hama terpadu. Banyaknya hama dan penyakit ini sangat mempengaruhi produktivitas tanaman, meskipun keberadaannya sangat berbeda di masing-masing wilayah. Oleh karenanya diperlukan penerapan teknologi pengelolaan hama dan penyakit secara terpadu.

Di lapangan terdapat beberapa teknologi pengendalian hama yang sudah banyak dilakukan petani. Beberapa diantaranya masih menganut pada prinsip kearifan lokal yang turun temurun diterapkan. Teknologi yang diterapkan tentu sangat berpengaruh terhadap keragaman ekosistem yang ada sehingga berdampak juga pada insiden serangan OPT. Tujuan program peningkatan produksi padi yang sedang gencar sekarang ini adalah peningkatan produktivitas, peningkatan indeks pertanaman dan peningkatan optimalisasi lahan. Target capaian tersebut perlu ditunjang dengan program pengelolaan hama dan penyakit secara terpadu agar mampu juga menciptakan produk yang berkualitas baik.

Sumber: Digitani.ipb

Dalam pengendalian OPT, pemerintah sudah mengintroduksikan teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan cara pengendalian OPT yang benar berwawasan lingkungan. Pada dasarnya prinsip PHT menurut Rukmana dan Saputra (1998) terdiri atas:

a)     Budidaya tanaman yang sehat;

b)    Pelestarian musuh alami;

c)     Pengamatan mingguan; dan

d)    Petani menjadi ahli PHT.

Penerapan PHT pada Tanaman Padi

Introduksi teknologi PHT dimulai dengan melakukan pelatihan petugas untuk diteruskan ke petani dengan nama Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT). Pelatihan SL-PHT pada dasarnya mencakup empat prinsip, yaitu

Ø  Petani mampu untuk mengusahakan budidaya tanaman sehat

Ø  Pelestarian dan pemanfaatan musuh alami

Ø  Pengamatan sawah secara berkala

Ø  Petani mampu menjadi manager dalam usaha tani 

Sumber: Pangan News

Pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHT) merupakan pendekatan pengendalian yang memperhitungkan faktor ekologi sehingga pengendalian dilakukan agar tidak terlalu mengganggu keseimbangan alami dan tidak menimbulkan kerugian besar. PHT merupakan paduan berbagai cara pengendalian hama dan penyakit, diantaranya melakukan monitoring populasi hama dan kerusakan tanaman sehingga penggunaan teknologi pengendalian dapat lebih tepat. 

Berikut merupakan Contoh Penerapan Pengendalian Hama Terpadu pada Tanaman Padi

1.     Pengendalian hama tikus

Tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan spesies dominan pada pertanaman padi. Hama tikus perlu dikendalikan seawal mungkin, mulai dari pengolahan tanah sampai tanaman dipanen. Cara pengendaliannya yaitu:

a)     Sanitasi lingkungan dan manipulasi habitat

b)    Kultur teknis

c)     Fisik dan mekanis

d)    Biologi

e)     Kimiawi Penerapan sistem sistemperangkap bubu (SPB) atau Trap Barrier System (TBS).

2.     Pengendalian hama penggerek batang

Penggerek batang merusak tanaman padi pada berbagai fase pertumbuhan. Empat jenis penggerek batang padi yang umum ditemukan adalah; Penggerek batang padi kuning (Tryporyza incertulas), penggerak batang padi bergaris (Chilo suppressalis), penggerek batang padi putih (Tryporyza innotata), dan penggerek batang padi merah jambu (Sesamia inferens). Pengendaliannya adalah saat panen padi sawah potong tunggul jerami rendah supaya hidup larvanya terganggu dimana larva yang ada dibagian bawah tanaman tertinggal dan membusuk bersama jerami. Selain itu, pengendalian mekanis dapat dilakukan dengan mengambil kelompok telur pada saat tanaman berumur 10-17 hari setelah semai, karena hama penggerek batang sudah mulai meletakkan telurnya pada tanaman padi sejak di pesamaian.

Harus diamati intensif sejak semai sampai panen. Kalau populasi tinggi dapat dikendalikan dengan insektisida butiran (karbofuran, fipronil) dan insektisida 17 cairan (dimehipo, bensultap, amitraz, dan fipronil) yang diaplikasikan bila populasi tangkapan ngengat 100 ekor/minggu pada perangkap feremon atau 300 ekor/minggu pada perangkap lampu. Insektisida butiran diaplikasikan bila genangan air dangkal dan insektisida cair bila genangan air tinggi.

3.     Wereng coklat atau wereng punggung putih

Wereng coklat dan wereng punggung putih (Sogatella furcifera H.) seringkali menyerang tanaman secara bersamaan pada tanaman stadia vegetatif. Pengendaliannya adalah di daerah endemis wereng coklat, pada musim hujan harus ditanam varietas tahan wereng. Kemudian terapkan berbagai cara pengendalian, mulai penyiapan lahan, tanam legowo, pengairan inttermitten, takaran pupuk sesuai BWD. Monitor perkembangan hama wereng punggung putih dan perimbangan populasi wereng coklat dan musuh alami pada umur 2 minggu setelah tanam sampai 2 minggu sebelum panen.

4.     Siput murbei atau keong mas (Pomace canaliculata Lamarck)

Kerusakan terjadi ketika tanaman masih muda. Pengendaliannya adalah mencegah introduksi keong mas pada areal baru. Bila keong mas masuk ke dalam areal sawah baru akan berkembang cepat terutama pada lahan yang selalu tergenang dan akan sukar dikendalikan. Pengendalian harus berkesinambungan, walaupun tanaman sudah berumur 30 HST, pengendalian harus tetap dilakukan untuk mencegah serangan pada pertanaman berikutnya.

Secara mekanis dapat dilakukan dengan mengambil dan memusnahkan telur dan keong mas baik dipesemaian atau di pertanaman secara bersama-sama, membersihkan saluran air dari tanaman air seperti kangkung, dan 19 mengembalakan itik setelah panen. Untuk mengurangi kegagalan panen, harus menyiapkan benih lebih banyak.

Pada stadia vegetatif, dapat dilakukan: (1) pemupukan P dan K sebelum tanam; (2) menanam bibit yang agak tua (>21 Hari) dan jumlah bibit lebih banyak; (3) mengeringkan sawah sampai 7 HST; (4) tidak mengaplikasikan herbisida sampai 7 HST; (5) mengambil keong mas atau telur dan memusnahkan; (6) memasang saringan pada pemasukan air untuk menjaring siput; (7) mengumpan dengan menggunakan daun talas atau daun pepaya; (8) Aplikasi pestisida anorganik atau nabati seperti saponin dan rerak sebanyak 20-50 kg/ha sebelum tanam pada caren sehingga pestisida bisa dihemat.

5.     Walang sangit (Leptocorisa spp.)

Hanya menyerang tanaman yang sudah berbulir. Pengendalian dengan insektisida dilakukan jika populasinya melebih ambang kendali yaitu pada saat setelah stadia pembungaan ditemukan rata-rata >10 ekor/rumpun.

6.     Penyakit tungro dan wereng hijau

Pengendalian dengan waktu tanam yang tepat dan rotasi varietas telah berhasil di Sulawesi Selatan namun pada kondisi pola tanam tidak teratur, pergiliran varietas kurang berhasil, seperti di Bali dan Jawa Tengah. Hasil yang optimal tetapi tidak merusak struktur tanah.

Dikutip dalam jurnal “Pelaksanaan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) Padi di Desa Kluwan, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan" oleh M. Eti Wulanjari, dkk, hampir seluruh petani mengetahui bahwa pelaksanaan PHT dapat meningkatkan hasil produksi padi. Hal ini, selanjutnya, menimbulkan ketertarikan terhadap teknologi PHT dan upaya meningkatkan produksi padi dengan pergantian varietas dan meningkatkan dosis pupuk.  Komponen sikap terhadap PHT yang disukai petani meliputi penggunaan seed treatment, penggunaan bahan organik, pengendalian hama dengan mekanis, penggunaan bubu/perangkap tikus, pengendalian gulma dengan mekanis, pengendalian gulma dengan herbisida. Selain itu, penggunaan pestisida kimia dan pupuk kimia NPK juga masih disukai oleh sebagian besar petani. Selain modal untuk usahatani, kendala utama yang dialami petani dalam melaksanakan PHT secara utuh adalah kesulitan penyediaan kompos dan melaksanakan bibit tanam muda. Tindakan yang mendesak untuk dilakukan pada PHT padi adalah penggunaan varietas unggul dan penggunaan pupuk organik.


Daftar Pustaka

Digitani IPB. 2019. Penyakit Blas dan Rekomendasi Pengendaliannya. Diakses pada https://digitani.ipb.ac.id/penyakit-blas-dan-rekomendasi-pengendaliaannya/

Kumparan. 2021. Contoh Habitat Oryza sativa L. dan Ciri-cirinya. Diakses pada https://kumparan.com/berita-update/contoh-habitat-oryza-sativa-l-dan-ciri-cirinya-1wn1bH9Zmls/full

Pangan News. 2021. Refleksi Perjalanan Panjang 35 Tahun PHT di Indonesia. Diakses pada https://pangannews.id/berita/1629092564/refleksi-perjalanan-panjang-35-tahun-pht-di-indonesia

Wulanjari, M. E., Anwar, K., Pada, S., Pengkajian, B., & Pertanian, T. (2014). Pelaksanaan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) Padi di Desa Kluwan, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan. Jurnal Ilmiah ESAI4(1), 6–15. https://jurnal.polinela.ac.id/ESAI/article/view/1327


Nama    : Isnaini Ainun Habibah

NPM    : 21025010158

Kelas    : C025

REVITALISASI PERTANIAN: Inovasi Nano Biopestisida dari Serai Wangi (Cymbopogon nardus L.) dan Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Pertanian

Sumber: https://www.greeners.co/ide-inovasi/biopestisida-dari-kulit-durian/   Biopestisida? Biopestisida adalah pestisida yang berasal dar...